Legal Opinion (Parate Eksekusi Jaminan Fidusia Secara Sepihak)

 


PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)

PARATE EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA SECARA SEPIHAK OLEH PERUSAHAAN PEMBIAYAAN MULTIGUNA

 

A.    POSISI KASUS

Bahwa telah terjadi parate eksekusi obyek jaminan fidusia secara sepihak yang dilakukan oleh perusahaan leasing A kepada PT ANOS AM, adapun peristiwa hukum tersebut (summarized sequential order of legal events) dapat digambarkan sebagaimana berikut :

1.Bahwa, kerjasama pembiayaan multiguna antara PT ANOS AM (Debitur) dengan      Perusahaan Multiguna (Kreditur) dimulai pada tanggal 11 januari 2019 dan   berakhir pada tanggal 11 Desember 2022;

2.Bahwa, Debitur telah membayar uang muka sebesar Rp. 1.015.661.200 (Satu Miliar lima belas juta enam ratus enam puluh satu dua ratus rupiah) dan sejumlah cicilan sebanyak 15 kali dengan total Rp. 460.288.700 (Empat Ratus Enam puluh juta dua ratus delapan puluh delapan ribu tujuh ratus rupiah) kepada kreditur dalam perjanjian pembiayaan multiguna pengadaan sebuah bus;

3.Bahwa, jangka waktu pembayaran cicilan adalah 70 bulan;

4.Bahwa, terakhir kali debitur melakukan pembayaran yaitu pada tanggal 07 feb 2021;

5.Bahwa, debitur telah meminta keringanan pembayaran pokok terhutang melalui surat pada tanggal 09 november 2022;

6.Bahwa, kreditur menolak permohonan penyelesaian pokok terhutang pada tanggal 03 desember 2022;

7.Bahwa, debitur meminta kembali dengan mengirim surat permohonan yang kedua kali untuk penyelesaian pokok terhutang secara win win solution dengan mengurangkan tunggakan pokok kredit pada tanggal 21 desember 2022;

8.Bahwa, kreditur mananggapi dengan menolak permohonan debitur untuk yang kedua kali terkait penyelesaian pokok terhutang pada tanggal 11 januari 2023;

9.Bahwa sekurang-kurangnya pada tanggal 11 agustus 2023, pada pukul 17.00 W.I.B, di polsek kandat kediri jawa timur, terjadi tindakan parate eksekusi obyek jaminan sebuah bus PT ANOS AM dengan nomor plat polisi B 0000 GB oleh perusahaan Multiguna ;

10.Bahwa, Peusahaan Multiguna menunjuk pihak ketiga untuk melakukan parate eksekusi tersebut;

11.Bahwa, dalam hal tindakan parate eksekusi yang dilakukan pihak ketiga tersebut tidak menunjukan surat tugas dari bca finance, salinan akta fidusia, dan atau menunjukan sertifikat profesi penagihan pembayaran (SPPI).

B.    ANALISIS HUKUM

Perlu diperhatikan ketentuan yang wajib dipatuhi dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia yaitu:

1.      Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dan pasal 31, batal demi hukum.

2.      Setiap janji yang memberi kesewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur cidera janji, batal demi hukum.

3.      Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjamin, penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia. Sedangkan jika hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang debitur tetap bertaanggung jawab atas utang yang belum terbayar.

 

Terdapat 2 faktor penyebab terjadinya parate eksekusi terhadap objek jaminan fidusia oleh kreditur, antara lain:

A.     Faktor Eksternal

1.       Akta Jaminan Fidusia Didaftarkan Oleh Perusahaan Leasing

 

Suatu ciri yang sangat menguntungkan bagi kreditur dalam hal ini adalah bahwa sertifikat jaminan fidusia mengandung kata- kata yang menyatakan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun1999 Tentang Jaminan Fidusia, yang mengandung title eksekutorial (Ps. 15 ayat (2) UUJF) berarti sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan yang sama dengan                suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Akta jaminan fidusia yang tidak di daftarkan oleh perusahaan Leasing akan menimbulkan akibat hukum yang beresiko.

 

Hal ini jelas bertentangan dengan         Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.Selain karena bertentangan,  padahal Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, pendaftaran akta jaminan fidusia sudah dipermudah, yaitu secaraonline (system online) dan sudah ditetapkan dengan terbitnya Surat Edaran Dirjen AHU No. AHU- 06.OT.03.01 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Sistem Administrasi Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik (Online System). Perusahaan leasing dalam hal ini yang bertindak sebagai kreditur tidak bisa melakukan hak eksekusinya karena perjanjian tersebut termasuk perjanjian dibawah tangan, karena selain tidak memiliki akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat berwenang, juga tidak memiliki sertifikat jaminan fidusia yang diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF).

 

 

 

 

2.    Sertifikat Jaminan Fidusia Tidak    Digunakan Dalam Prosedur Hukum Yang Baik dan Benar.

 

Sertifikat jaminan fidusia sudah                  ada, namun tidak digunakan sesuai      prosedur hukum yang baik dan benar, seperti kasus yang dialami debitur oleh perusahaan leasing (PT. Astra Sedaya Finance). Sertifikat jaminan fidusia  dengan nomor WII.0167952.AH.05.01 adalah sertifikat yang digunakan oleh perusahaan leasing (PT. ASF) untuk  mengeksekusi mobil Toyota Alphar d milik debitur. Dalam putusan pengadilan Jakarta Selatan Nomor 345/PDT.G/2018 tentang gugatan perbuatan melawan hukum, perusahaan leasing (PT. ASF) telah dinyatakan bersalah dan wajibmembayar ganti rugi terhadap pihak debitur. Akan tetapi perusahaan leasing (PT. ASF) tidak menindaklanjuti putusan tersebut, melainkan mengeksekusi paksa dengan menggunakan sertifikat jaminan fidusia, yang diduga oleh debitur berani melakukan tindakan tersebut karena berlindung di balik Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.  Padahal sebelum mengeksekusi objek jaminan fidusia perlu adanya tahapan- tahapan dan prosedur hukum yang harus dicermati dan ditaati, seperti mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan.

 

3.    Perbuatan Main Hakim Sendiri dan                                                           Perusahaan Leasing Menyatakan Sepihak

 

Kejadian yang mengakibatkan debitur cidera janji atau wanprestasi mendorong perusahaan Leasing untuk menerapkan cara yang terkadang  menimbulkan tindakan kesewenang- wenangan. Tindakan ini biasanya terjadi                           dengan menyewa jasa debt collector yang merupakan karyawan yang bekerja Di perusahaan penagih yang memilikihubungan kerja dengan  perusahaan leasing. Istilah debt collector di Indonesia pada praktiknya telah mendapat pandangan yang menyimpang dan dianggap mencerminkan kriteria penagihan yang mengutamakan tindakan kesewenang-wenangan. Fungsi debt collector disini adalah  sebagai pihak ketiga yang menjembatani antara perusahaan leasing  dengan debitur dalam hal penagih  hutang.

 

        Mengutip Pasal 1792 Kitab Undang- UndangHukum Perdata (KUHPerdata) diatur mengenai pemberian kuasa kepada orang lain, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dalam hal ini debt collector bertindak atas kuasa yang diberikan oleh         perusahaan leasing (kreditur) dalam  penagihan objek jaminan. Dengan kata  lain perbuatan debt collector  dianggap                  sah selama dalam proses penagihannya Dilakukan dengan tata cara prosedur yang tidak melawan  aturan hukum. Akan tetapi              praktiknya dilapangan yang terjadi  adalah debt collector main hakim              sendiri atau yang sering dikenal dengan            istilah (eigenrichting)seperti kasus  perkara tersebut diatas. Di lain sisi, faktor eksekusi ini terjadi bukan dari  sisi debtcollector  saja, melainkan  dari perusahaan leasing itu sendiri. Faktanya perusahaan leasing sering  menyatakan sepihak mengenai  cidera janji atau wanprestasi debitur, padahal cidera janji ditentukan atas dasar kesepakatan antara kreditur dan   debitur atau atas dasar upaya hukum  yang menentukan dan memutuskan  telah terjadinya cidera janji.

 

B.     Faktor Internal

1.       Awam Hukum Bagi Debitur dan Eksekusi secara sepihak terjadi,

selain karena faktor eksternal terdapat juga faktor internal yang dimana faktor                                    internal ini adalah ketidak pahaman debitur mengenai prosedur eksekusi terhadap objek jaminan fidusia. Kurangnya kesadaran hukum dapat dilihat dari sikap pasif yang hanya mengikuti aturan pemerintah yang berlaku, tanpa adanya suatu pemikiran mengenai alternative upaya perlindungan hukum yang bisa dilakukan, Jika eksekusi objek jaminan fidusia terjadi oleh perusahaan leasing setidaknya debitur perlu memastikan beberapa hal terlebih dahulu, seperti:

a)      Proses eksekusi objek jaminan fidusia telah sesuai dengan             prosedur yang diatur dalam perjanjian pembiayaan, termasuk mengenai tahapan  pemberian surat peringatan kepada  debitur;

b)      Petugas yang melakukan eksekusi objek jaminan fidusia  merupakan pegawai perusahaan pembiayaan atau pegawai alih daya perusahaan pembiayaan yang memiliki surat tugas untuk melakukan eksekusi objek jaminan  fidusia;

c)      Petugas yang melakukan eksekusi objek jaminan fidusia membawa sertifikat jaminan fidusia.

d)      Proses   penjualan    barang    hasil       eksekusi objek jaminan fidusia  harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai        jaminan fidusia.

 

2.       Wanprestasi Debitur Tidak Diatur Dalam Akta Perjanjian Jaminan Fidusia

 

Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa perjanjian fidusia adalah perjanjian ikutan atau asessoir. Perjanjian fidusia tidak akan lahir apabila tidak adanya perjanjian pokok, yang dimana perjanjian pokok dimaksud adalah perjanjian utang piutang antara debitur dan perusahaan leasing yang dalam hal ini bertindak sebagai kreditur.

 

Permasalahannya adalah terletak  pada wanprestasi debitur,  karena biasanya kesepakatan antara                     kedua belah pihak mengenai                           wanprestasi hanya tertuang dalam                          perjanjian pokoknya saja. Padahal  perihal wanprestasi wajib dicantumkan  juga dalam perjanjian fidusia itu  sendiri dengan maksud memberikan  ruang perlindungan hukum terhadap  debitur. Kata wanprestasi harus  mendapat kesepakatan antara debitur   dan perusahaan leasing (kreditur)  seperti apa unsur wanprestasi yang dimaksud.

 

 

3.       Debitur Tidak Menyatakan Dengan   Sukarela Menyerahkan Objek Jaminan  Fidusia

 

Di dalam proses eksekusi objek jaminan fidusia sebaiknya perusahaan leasing yang menggunakan jasa debt collector mencermati baik-baik prosedur dan tata cara eksekusi yang  baik dan benar. Salah satunya adalah pihak debitur menyatakan dengan sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia yang telah memperoleh kesepakatan antara kedua belah pihak dan tertuang di dalam perjanjian akta jaminan fidusia. Apabila debitur tidak menyatakan dengan sukarela menyerahkan objek jaminannya, maka sebaiknya perusahaan leasing        mengajukan permohonan eksekusi melalui pengadilan.

 

C.     ALTERNATIF UPAYA HUKUM

 

1)      Gugatan perdata terkait Perbuatan Melawan Hukum Ps.1365   Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

Terkait dengan penyimpangan dalam pelaksanaan eksekusi jaminan                                        fidusia,  selain dapat melanggar ketentuan hukum pidana, perbutan main hakim sendiri mencerminkan adanya perbuatan melawan hukum seperti halnya yang telah diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan bahwa “tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang atau badan hukum yang menimbulkan                kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.” Syarat-syarat yang terkandung dalam perbuatan melawan hukum diantaranya adalah adanya kerugian. Kerugian yang dimaksud karena wanprestasi.

 

2)      Laporan pidana tentang Tindak Pidana Pemaksaan Serta       Adanya Tindakan Perampasan

Ps.365   Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)Ketentuan pasal 365 ayat 2, 3, dan 4 berlaku bagi kejahatan ini. Terhadap perbuatan main hakim sendiri atau perbuatan secara paksa yang dilakukan pihak perusahaan pembiayaan dalam eksekusi Jaminan Fidusia, yangmemenuhi maksud dari tindakan yang dimaksud dalah pasal 368 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan unsur- unsur seperti, unsur objektif, unsur subjektif, pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

 

3)      Laporan pidana tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan Ps.335 ayat (1) butir 1 KitabUndang- Undang Hukum Pidana

Pihak debitur yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dengan tindakan sewenang- wenang dari perusahaan leasing (kreditur) dapat dikenakan sanksi pasal 335 ayat butir 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang telah di uji materilke hadapan Mahkamah Konstitusi Republik Inonesia dengan Nomor putusan 18/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan,tidak melakukan atau membiarkaan sesuatu,dengan memakai kekerasan,atau dengan memakai ancaman  kekerasan, baik terhadap orang itu s endiri maupun orang lain.”

 

4)      Laporan pidana tentang Pencemaran Nama Baik Ps.310 ayat 1Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Perusahaan leasing  yang menggunakan jasa debt collector untuk menarik paksa objek Jaminan fidusia secara tiba-tiba dengan membuat gaduh lingkungan bisa mencemarkan nama baik pihak  debitur. Untuk itu dapat dikenakan sanksi berupa pasal 310 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa, “Barang siapa sengaja mnyerang                kehormatan atau nama baik seseorang                       dengan  menuduhkan sesuatu hal, yang                 maksudnya terang supaya hal itu                       diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratusrupiah”.

 

 

5)      Melaporkan ke OJK atau kementrian terkait berdasar pada  Pasal 5 Ayat 1 Permenkeu Nomor 130/PMK.10/2010Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi        Perusahaan Leasing.

 

Perusahaan leasing yang melanggar ketentuan persyaratan dan Undang-Undang yang berlaku sangat beresiko tinggi terhadap perusahaan itu sendiri. Pasal 5 ayat 1 telah menyatakan bahwa, perusahaan pembiayaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1, pasal 2, pasal 3, dan pasal 4  Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap    berupa : Peringatan Pembekuan kegitan usaha, atau Pencabutaan izin  usaha. Maka keberadaan suatu usaha  leasing yang belum mendaftarkan  akta jaminan fidusia tentunya akan  berakibat fatal, karena jenis usaha  yang digelutinya sewaktu-waktu bisa  ditutup karena dinilai tidak sah secara    hukum .


 

C.    KESIMPULAN

Seyogyanya dengan Adanya Lembaga jaminan fidusia ini memudahkan kreditur melakukan parate eksekusi dan terbilang cukup efisien, dengan catatan perusahaan Leasing yang bertindak                   sebagai kreditur sudah memenuhi dan mengikuti  aturan hukum yang sesuai dengan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan aturan- aturan hukum lainnya yang mengikat, seperti:

 

a)      Akta Jaminan Fidusia telah didaftarkan dan terbitnya Sertifikat Jaminan Fidusia.

b)      Mengeksekusi objek jaminan fidusia dengan  membawa surat-surat lengkap, seperti halnya sering terjadi perusahaan Leasing menggunakan jasa Debt Collector harus membawa surat tugas serta Sertifikat Jaminan Fidusia.

c)      Tidak adanya tindakan kekerasan, pemaksaan atau perbuatan melawan hukum saat mengeksekusi objek jaminan fidusia

Namun, dengan fakta hukum dalam kaitan parate eksekusi yang dilakukan oleh BCA FINANCE kepada PO. SOEGIARTO tersebut menimbulkan dampak negatif berkelanjutan, Barangkali, pihak kreditur (BCA FINANCE) melakukan parate eksekusi dengan berlindung pada pasal  15 ayat (2) dan ayat 3 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia tanpa title eksekutorial dan tanpa berpedoman dengan tata cara parate eksekusi yang benar dan sah menurut mekanisme aturan hukum positif di indonesia.

 

Sehubungan  dengan hal tersebut sebagai penjelasan tambahan, terhadap pasal ini sudah dilakukan uji materiil  dan telah diputuskan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia                   NO.18/PUU/XVII/2019 dengan amar putusan diantaranya, yaitu:

 

1.      Menyatakan pasal 15 ayat (2) Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Lembaaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik     indonesiaTahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang    menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.

 

2.      Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera     janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara  kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera                       janji”.

 

3.      Menyatakan penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.

 

 

 

D.   Rekomendasi

 

Dengan pendapat hukum (Legal Opinion) yang sudah kami paparkan diatas, legal standing PT ANOS AM sebagai subyek hukum menjadi jelas dan terang guna mendapatkan kepastian hukum terutama mengenai perlindungan debitur dalam hal wanprestasi terhadap objek jaminan fidusia , serta menunjukan banyaknya instrumen hukum yang dapat ditindak lanjuti sebagai upaya hukum kedepan guna merespon ketidak adilan serta kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan multiguna.

 

“fiat justitia pereat mundus”

(sekalipun esok langit akan runtuh, keadilan harus tetap ditegakkan !) 

Pati, 13 Maret 2024

Ach Abdul Wahab, S.H

(Advokat & Konsultan hukum)

0 Komentar